Ada sebuah
ungkapan kebanggaan Rakyat Wajo yaitu “Jika ingin belajar tentang demokrasi
yang modern, Anda tidak perlu jauh-jauh ke luar kegeri. Cukup membuka dan
mempelajari sejarah dan catatan peninggalan masa lampau dari Kerajaan Wajo”.
Kalimat di atas
bukanlah sesuatu kalimat yang berlebihan jika diucapkan. Jika melihat sejarah, Wajo
merupakan salah satu kerajaan yang memiliki nama besar di Sulawesi Selatan. Siapa
sangka, kerajaan yang dibangun beratus-ratus tahun lalu ini memiliki sistem
demokrasi yang modern. Kerajaan Wajo disebut memiliki keistimewaan
tersendiri karena Wajo merupakan satu-satunya kerajaan yang tidak mengenal
sistem Tomanurung atau dalam istilah
lainnya yaitu sistem dinasti yang sering dikonotasikan negatif.
Seperti yang diketahui bahwa setiap
kerajaan dipimpin oleh seorang Raja yang berasal dari kaum bangsawan, dan yang
berhak meneruskan tahtanya ialah keturunannya. Kerajaan Wajo dari dahulu tidak
seperti halnya dengan kerajaan yang ada di pulau Sulawesi bahkan kerajaan yang
pernah ada di nusantara ini. Kerajaan Wajo bukanlah milik kalangan tertentu
atau bangsawan saja yang diwariskan secara turun temurun. Semua orang berhak
dan mempunyai kesempatan yang sama untuk mengisi pemerintahan kerajaan. Kerajaan
Wajo merupakan kerajaan yang dibangun dan dimiliki bersama pemerintah dengan
rakyatnya. Seorang Raja diangkat bukan berdasarkan keturunan tetapi melalui
hasil musyawarah pemangku adat atau rapat dewan adat Arung Patappulo’e (dewan adat yang berjumlah 40 orang). Jadi sejak
dahulu di Wajo telah dibentuk anggota dewan sama seperti yang ada di indonesia
sekarang. Indonesia mengenal sistem tatanan demokrasi dengan
prinsip kekuasaan tertinggi berada di tangan rakyat.
Menurut beberapa sumber yang
dilansir dari sejarah bahwa Raja Wajo yang disebut sebagai Arung Matowa bukanlah
jabatan yang diwariskan dengan turun temurun. Arung Matowa dipilih dari rakyat Wajo
dan diangkat oleh perwakilan rakyat Wajo yang dipimpin Arung Bentengpola. Sama
halnya dengan slogan “Dari Rakyat, Oleh Rakyat, dan Untuk Rakyat”. Hal
ini yang kemudian menjadi salah satu faktor tertanamnya prinsip-prinsip
demokrasi di Wajo sejak dulu bahwa suara terbanyaklah yang menentukan sebuah
keputusan seperti yang tertuang dalam bunyi Pancasila sila ke-4
“Permusyawaratan yang Dipimpin oleh Hikmat, Kebijaksanaan dalam
Permusyawaratan/Perwakilan”. Sesungguhnya ini adalah warisan yang amat berharga
bagi masyarakat Indonesia.
Seorang Raja di Wajo yang diangkat
harus tunduk kepada garis peraturan yang telah ditetapkan bersama dan harus
menghargai kebebasan atau kemerdekaan setiap individu yang ada di Wajo. Di Wajo
ditanamkan sikap kemerdekaan yang tinggi, setiap Raja harus menanamkan bahwa
siapa pun orang Wajo itu masih sejak di dalam kandungan dia sudah merdeka,
tidak ada diskriminasi dan tidak satupun yang boleh merampas kebebasan tersebut
sekalipun itu seorang Raja.
Kerajaan Wajo yang berakhir tahun
1948 kemudian menjadi sebuah wilayah yang disebut sebagai Kabupaten Wajo. Orang
Wajo dikenal dengan keahliannya dalam bercocok tanam, peternakan, bahkan
terkenal sampai ke luar negeri tentang kejayaannya dalam menguasai dunia
perdagangan. Kejayaan masa lalu itu dipercaya karena masyarakat Wajo waktu itu
menghargai keberadaan para Raja. Para Raja adalah pusat kekuasaan dan
kesejahteraan mereka yang diberi amanah, dipercayakan untuk dipikul dan
dibebankan kepada kepala pemerintahan yaitu seorang Raja. Simbol tersebut tentu
masih dibutuhkan kehadirannya pada zaman kini yang telah modern, dituangkan ke
dalam bentuk proses pilkada dengan tujuan untuk menyatukan seluruh aspirasi
elemen masyarakat dalam ikatan harmoni kedamaian dalam hidup bermasyarakat.
Demikianlah tentang
kearifan lokal dari budaya Wajo khususnya dalam proses pengambilan keputusan
dan dalam memilih pemimpin semua diputuskan melalui musyawarah mufakat. Semua
individu atau pun golongan memiliki hak yang sama, dimulai dari hak untuk hidup
hingga dalam menentukan pilihan. Siapa pun yang mencalonkan diri dan terpilih
untuk menjadi pemimpin Wajo selanjutnya masih meneladani sifat para Raja Wajo
terdahulu yang selalu tunduk pada aturan, tidak serakah, mengayomi dan
menyadari bahwa dirinya terpilih dari suara terbanyak yang berasal dari rakyat.
Para Raja Wajo adalah orang yang rendah diri, menyayangi, jujur, jauh dari
sifat serakah. Kerajaan Wajo adalah simbol kebebasan berpendapat dengan tetap
santun menghargai dan menghormati kemerdekaan yang ada pada orang lain. Semua
orang diciptakan dengan derajat yang sama, tak ada yang hina atau pun
mulia. Jaga kearifan lokal, ”Maradeka To
Wajo’e Ade’na Na Papuang”, kalimat ini dari zaman dahulu sampai sekarang
menjadi slogan daerah Wajo dan slogan ini terdapat/tertulis dalam lambang/logo
Kabupaten Wajo.
BIODATA
PENULIS
1. ANDI MUHADIRIN
TTL : Peneki, 23 Oktober
2001
ASAL
SEKOLAH : SMA NEGERI 13 WAJO
KELAS : XI IPA
NIS : 160018
ALAMAT : Kelurahan Solo, Kec. Bola
2. AGUSTINA
TTL : Bone, 9 Agustus
2001
ASAL
SEKOLAH : SMA NEGERI 13 WAJO
KELAS : XI IPA
NIS : 160003
ALAMAT : Jangkali, Kelurahan Solo, Kec.
Bola
3. BESSE RAHMA
TTL : Wakke, 12 Mei 2001
ASAL
SEKOLAH : SMA NEGERI 13 WAJO
KELAS : XI IPA
NIS : 160008
ALAMAT : Wakke, Desa Sanreseng Ade, Kec.
Bola
Solo, 18 April 2018
(Tulisan ini dilombakan dalam Lomba Debat Siswa Penulisan Essai Pemilu dan Demokrasi yang diselenggarakan oleh KPU Kabupaten Wajo)
0 komentar:
Posting Komentar